Mulai minggu lalu, aku ingin sekali bertemu dengan guru-guru kehidupan. Siapapun dan apapun profesinya dan tidak perduli dari strata status sosial apa.
Bertemu dengan orang-orang yang dengan ketawadhu’annya menyentuh hidup dengan ‘caranya’ , ditengah dunia yang serba hedonis dan materialis ini.
Alhamdulillah.. hari ini aku bisa memulai menuliskannya.
Hari ini, pagi ini, aku puingiiin banget breakfast pakai nasi pecel. Maka, lewatlah aku di jalan tempat nasi pecel langgananku dan ternyata ndak jual. Ya sudahlah, nanti beli yang di dekat sekolah pikirku.
Kemudian sampai di kantor, aku melihat beberapa kerjaan yang ada di mejaku terlebih dahulu dan dengan motor kesayangaakupun segera meluncur ke kantor belakang untuk beberapa kerjaan dan nanti sekalian mencari nasi pecel yang juga langganan guru-guru lain.
Ada dua rombong penjual nasi pecel yang biasa berjualan, satu rombong ternyata tidak jual, dan beralihlah aku ke rombong satunya dan ternyata habis… Hmmm.. ya sudah deh.. ndak boleh makan nasi pecel aku hari ini.
Setelah beberapa hal kerjaan di kantor belakang selesai, kembalilah aku kantor dan melewati sebuah warung pecel yang amat sederhana dengan penjualnya ibu paruh baya,. Dan ternyata ketika aku bilang beli nasi pecel, nasinya habis. ‘Ya sudah deh bu pecelnya aja’ kataku pada ibu penjual nasi itu ( ternyata Allah ta’ala juga mengijabahi do’aku yang ingin mengurangi asupan karbohidrat dengan meniadakan semua nasi di pagi ini ya.. senyumku dalam hati.. :D).
Setelah membeli pecel, ibu penjual menawarkan jajanannya yang mungkin tinggal beberapa gelintir yang ada di warungnya. Ya sudah deh.. aku beli aja, sekalian untuk teman-teman di kantor pikirku. “Sudah bu.. berapa semuanya ?” tanyaku, “tujuh ribu nak” sahut ibu tersebut ramah. Setelah menrima uangku, disuruhnya aku mengambil beberapa jajanan yang tersisa ( gratis) dan aku dengan halus menolaknya dengan alasan itu dagangannya, tapi beliauya memaksa, bahkan diambilnya beberapa potong dan langsung dimasukkannya ke plastik jajanan yang kubawa (padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan aku bru kali ini beli di warungnya).
Kemudian ibu itu cerita tentang kesehariannya, trmasuk yang sedang dikerjakannya sebelum aku datang, membuat rempeyek (akupun tdk jadi beranjak pergi & tersenyum mendengarkan ceritanya).
Beliau sendirian mengerjakan semuanya, tidak nampak wajah penuh beban dan keterpaksaan, yang ada hanya aura kebahagiaan dan keikhlasan dengan semua hal yang dikerjakannya.
Setelah ibu itu selesai bercerita, akupun pamit utk kembali ke kantor, dia bertanya-tanya kepadaku tentang tempat tinggalku dan kerja daerah mana, ku jawab sambil tersenyum semua pertanyaannya.
Sebelum aku beranjak, disuruhnya aku untuk mengambil rempeyek yang ada.. akupun menolak.. ‘Ibu ndak usah’ sahutku, “Ndak papa nak.. mbuat sendiri kok.. incipin.. enak nggak.. ‘ sahutnya sambil membuka tutup toples rempeyek dihadapannya.. ‘Ndak bu ndak usah’ khan ibu jualan.. ‘Ndak papa nak.. ayo..’ jawabnya sambil tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang tinggal beberapa biji ditengah. ‘Ndak usah bu, saya beli saja’ sambil aku keluarkan uang seribu rupiah. Dan diambilkannya potongan rempeyek dimasukkannya ke tas plastik ( bisa jadi lebih dari nilai seribu rupiah yang aku berikan).
Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, aku tersenyum dan senang sekali bertemu dengan penjual nasi pecel yang dari sisi usia mungkin sudah 50 tahunan, penjual nasi pecel yang ramah dan memancarkan ketulusan.
Hari ini aku belajar dari seorang penjual nasi pecel, Memberi adalah hak preogatif semua orang dan tidak perlu menunggu ‘kaya’ untuk melakukannya.
(wahyu r)
Write with love.. 😀