Cari

write it – right it

wahyu rakhmawiyatie

bulan

November 2011

berapa ‘harga diri’ saya ?

Kalau saya ditanya dengan pertanyaan Berapa harga dirimu?  (dalam bentuk materi), maka saya akan menjawab tidak ternilai. Banyak orang yang meletakkan harga dirinya dalam bentuk materi, pun banyak orang pula yang meletakkan harga dirinya dengan hal yang tidak dapat dinilai dengan materi.

Ketika seseorang melakukan sesuatu hanya sekedar karena upah yang diterimanya, dan tidak mau melakukan sesuatu karena besaran upah yang diterimanya, maka besaran upah itulah harga dirinya.

Pasti akan timbul pertanyaan, bukankah hak kita meminta sesuai yang kita inginkan? tentu saja itu hak kita, tapi bukankah hanya ‘sebatas’  keinginan anda itulah harga diri anda.

Kalau saya, apa yang saya kerjakan dan lakukan saat ini, anda tidak akan bisa mampu membayar saya, tapi saya rela karena saya senang dapat berkontribusi dan memberikan semua potensi yang terbaik dari diri saya. Upahnya? hanya Tuhan yang tahu berapa besaran upah yang pantas saya terima.

 

Write with love by wahyu r

 

menanti teman sejiwa

Menanti teman sejiwa. Pertanyaan sederhananya yu.. apakah kamu memiliki jiwa? atau jiwamu sudah tergadaikan di balik kesibukkanmu atau keangkuhan egomu?

Menanti teman sejiwa. Sudahkah kau telisik dalam lubuk hatimu yang terdalam apakah kamu memang menginginkan teman sejiwa itu, atau kamu hanya mencintai hidupmu sendiri?

Menanti teman sejiwa. Kembali, sudahkah kalu lihat dalam dirimu bahwa kamu memberi ruang untuk orang lain yang nantinya akan menemanimu sebagai teman sejiwa?

Aku terpekur dalam diam. Dengan semua pertanyaan yang memenuhi benakku.

Pantas saja, karena selama ini aku tidak benar-benar ‘merasakan’ jiwaku, aku tidak pernah menginginkan teman sejiwa itu, aku tidak pernah memberi ruang untuk datangnya teman sejiwa di hatiku… sampai pada hari ini dan detik ini.

22 November 2011

‘Memberi’ tidak harus menunggu ‘Kaya’ seri guru kehidupan.. part 1

Mulai minggu lalu, aku ingin sekali bertemu dengan guru-guru kehidupan. Siapapun dan apapun profesinya dan tidak perduli dari strata status sosial apa.

Bertemu dengan orang-orang yang dengan ketawadhu’annya menyentuh hidup dengan ‘caranya’  , ditengah dunia yang serba hedonis dan materialis ini.

Alhamdulillah.. hari ini aku bisa memulai menuliskannya.

Hari ini, pagi ini,  aku puingiiin banget breakfast pakai nasi pecel. Maka, lewatlah aku di jalan tempat nasi pecel langgananku dan ternyata ndak jual. Ya sudahlah, nanti beli yang di dekat sekolah pikirku.

Kemudian sampai di kantor, aku melihat beberapa kerjaan yang ada di mejaku  terlebih dahulu dan dengan motor kesayangaakupun segera  meluncur  ke kantor belakang untuk beberapa kerjaan dan nanti  sekalian mencari nasi pecel yang  juga langganan guru-guru lain.

Ada dua rombong penjual nasi pecel yang biasa berjualan, satu rombong ternyata tidak jual, dan beralihlah aku ke rombong satunya dan ternyata habis… Hmmm.. ya sudah deh.. ndak boleh makan nasi pecel aku hari ini.

Setelah beberapa hal kerjaan di kantor belakang selesai, kembalilah aku kantor dan melewati sebuah warung pecel yang amat sederhana dengan penjualnya ibu paruh baya,. Dan ternyata ketika aku bilang beli nasi pecel,  nasinya habis. ‘Ya sudah deh bu pecelnya aja’  kataku pada ibu penjual nasi itu ( ternyata Allah ta’ala juga mengijabahi do’aku  yang ingin mengurangi asupan karbohidrat dengan meniadakan semua nasi di pagi ini ya.. senyumku dalam hati.. :D).

Setelah membeli pecel, ibu penjual menawarkan jajanannya yang mungkin tinggal beberapa gelintir yang ada di warungnya. Ya sudah deh.. aku beli aja, sekalian untuk teman-teman di kantor pikirku. “Sudah bu.. berapa semuanya ?” tanyaku,  “tujuh ribu nak” sahut ibu tersebut ramah.  Setelah menrima uangku, disuruhnya aku mengambil beberapa jajanan yang tersisa ( gratis) dan aku dengan halus menolaknya dengan alasan itu dagangannya, tapi beliauya memaksa, bahkan diambilnya beberapa potong dan langsung dimasukkannya ke plastik jajanan yang kubawa (padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya, dan aku bru kali ini beli di warungnya).

Kemudian ibu itu cerita tentang kesehariannya,  trmasuk yang sedang dikerjakannya sebelum aku datang, membuat rempeyek (akupun tdk jadi beranjak pergi & tersenyum mendengarkan ceritanya).

Beliau sendirian mengerjakan semuanya, tidak nampak wajah penuh beban dan keterpaksaan, yang ada hanya aura kebahagiaan dan keikhlasan dengan semua hal yang dikerjakannya.

Setelah ibu itu selesai bercerita, akupun pamit utk kembali ke kantor, dia bertanya-tanya kepadaku tentang tempat tinggalku dan kerja daerah mana, ku jawab sambil tersenyum semua pertanyaannya.

Sebelum aku beranjak, disuruhnya aku untuk mengambil rempeyek yang ada.. akupun menolak.. ‘Ibu ndak usah’ sahutku, “Ndak papa nak.. mbuat sendiri kok.. incipin.. enak nggak.. ‘ sahutnya sambil membuka tutup toples rempeyek dihadapannya.. ‘Ndak bu ndak usah’  khan ibu jualan.. ‘Ndak papa nak.. ayo..’ jawabnya sambil tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang tinggal beberapa biji ditengah. ‘Ndak usah bu, saya beli saja’ sambil aku keluarkan uang seribu rupiah. Dan diambilkannya potongan rempeyek dimasukkannya ke tas plastik ( bisa jadi lebih dari nilai seribu rupiah yang aku berikan).

Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, aku tersenyum dan senang sekali bertemu dengan penjual nasi pecel yang dari sisi usia mungkin sudah 50 tahunan, penjual nasi pecel  yang ramah dan memancarkan ketulusan.

Hari ini aku belajar dari seorang penjual nasi pecel, Memberi adalah hak preogatif semua orang dan tidak perlu menunggu ‘kaya’ untuk melakukannya.

(wahyu r)

 

Write with love.. 😀

…ketika anak-anak melihatnya dari perspektif yang berbeda…

Beberapa kali menangani kasus anak-anak..  (kalau diperbolehkan dalam profesi saya) rasanya saya  ingin menangis di depan mereka. Bagaimana tidak, anak-anak yang diusia mereka semestinya dapat perhatian, pengharagan dan kasih sayang, tercerabut dari semua itu.

Seringkali anak-anak yang bermasalah, sebenarnya akar permasalahannya hampir sama. Kurangnya perhatian, penghargaan serta afeksi ( ‘sentuhan’ kasih sayang dari orang tuanya) pada anak-anak tersebut.

Saya juga tidak menyalahkan orang tua dalam hal ini, bisa jadi memang belum tahu caranya atau keadaan yang membuatnya tidak mampu melakukan itu. Saya amat faham, untuk itu,saya lebih pada mengajak untuk memberi perhatian, penghargaan dan ‘sentuhan’ kasih sayang pada anak-anak kita.

Usia 0 – 2 tahun, yang bisa kita berikan ke anak-anak kita hanyalah kasih sayang sebanyak-banyaknya dan setulus-tulusnya. Karena pada saat ini, anak-anak perlu memenuhi ‘tangki’ emosinya ( sehingga tidak akan terjadi deprivasi kasih sayang).

Caranya gimana? just ‘Playing’ with them.

Kegembiaraan anak-anak adalah disaat mereka ‘ditemani’ untuk melakukan hal-hal yang mereka senangi, dan apa yang disenangi anak-anak? jawabnya bermain. So.. ‘Playing With Them’

 Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Shahihah no.70)

Anas bin Malik Radhiallaahu anhu menuturkan: “Rasulullah sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Radhiallaahu anha, beliau memanggilnya dengan: “Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali.” (Zuwainab artinya: Zainab kecil) (Lihat Silsilah Hadits Shahih no.2141 dan Shahih Al-Jami’ 5-25)

Menulis memang mudah.. semudah mengatakannya, sayapun mengalami sendiri ketika harus bersama keponakan-keponakkan saya.

Setelah seharian penat bekerja dengan semua masalah yang harus dihadapi di kantor yang melelahkan fisik dan hati, di rumah masih harus menemani anak-anak bermain dan bercanda, amat sangat faham sungguh dibutuhkan hati dan fisik yang luar biasa. Tetapi setidaknya yakinlah bahwa permata hati-permata hati yang telah Allah SWT amanahkan kepada kita itu teramat-amat-amat sangat berharga dan layak kita perjuangkan untuk membahagiakan mereka. Mari kita bersemangat, menjadikan diri kita orang tua yang memang pantas dimanahi Allah SWT untuk menyayangi, mendidik dan membesarkan mereka, menjadi anak-anak yang salih dan salihah, anak-anak yang cerdas dan berakhlaq mulia (bukankah banyak pasangan yang tidak dikaruniai anak secantik dan setampan anak-anak kita?).

Mari kita bersemangat, menyayangi mereka setulusnya, dengan frekuensi suara sesuai dengan frekuensi hati mereka (bukan cengeng tetapi lembut dan penuh kasih sayang). Gunakan tutur kata yang memang menunjukkan bahwa kita memang menyayangi mereka. Dan seandainya kita memang marah.. katakan kita marah tanpa perlu berteriak, membentak bahkan menunjukkannya dengan kekerasan.

Show them that you love them with all your heart. Jangan sampai anak-anak kita menangkap dari perspektif yang berbeda  wujud dari cinta kita.

Just Love them with Playing with them ( not making them as playing)

Write with love.. 🙂

….keponakkan-keponakkan tersayang….

referensi : http://www.kolomayah.info/tag/hadits-ttg-berkata-lemah-lembut-kepada-anak

Iga Kambing Bakar Kecap / Tulang Kambing Bakar Kecap

Sudah lama aku tidak mendokumentasikan hasil masakanku.. atau udah lama ya ndak pernah masak? He.. he.. : )

Kali ini aku ingin  membuat Iga kambing bakar kecap ( sesuai permintaan kakakku) dan melihat tulang belulang yang kudapat dari sekolah. Oke dech, karena bahan ada dan saat itu (meski sudah malam-selepas isya’) listrik baru saja menyala maka aku turutilah permintaan kakakku.

Inilah resep sederhana, cekidot ya..

Bahan :

Iga Kambing ( atau tulang yang masih ada daging yang menempel) 1 kg

Bawang Putih 3 siung

Ketumbar secukupnya (2 sendok makan)

Garam secukupnya (satu sendok makan)

Gula secukupnya (setengah sendok makan)

Kecap manis secukupnya (dua sendok makan)

Minyak Goreng ( secukupnya)

 

Cara Membuat :

  1. Rebus tulang / Iga, sampai daging yang melekat terlihat empuk ( tapi tidak luruh dari tulang)
  2. Buat bumbu rendaman dengan menghaluskan : 3 siung bawang putih, 1 Sdm ketumbar, ½ sdm garam, 4 sdm gula. Setelah halus, tambahkan  1 sdm kecap manis, 1 sdm minyak goreng, 5 sdm air.
  3. Rendam iga / tulang dalam bumbu rendaman selama 2  menit.
  4. Panaskan minyak goreng dan goreng iga /tulang yang sudah berbumbu tadi sampai coklat keemasan. Angkat lalu tiriskan.
  5. Beri bumbu rendaman kembali iga / tulang yang sudah di goreng dan letakkan dalam panggangan (atau wajan anti lengket) untuk mengeringkan minyaknya dan meresapkan bumbu rendaman serta aroma manis dari daging kambing.
  6. Panggang selama 5 menit- di bolak-balik – sampai terlihat coklat tualalu angkat
  7. Iga Kambing Bakar kecap siap disantap ( ditambah sambal dan lalapan akan terasa semakin mantap).

Selamat mencoba.. 😀

Tester pertama : Keisya.. ponakkan terngalem sedunia.. 😀

..rAsa SeBel iTu..

Sebel aja rasanya.. ketika tahu benda yang selama ini kita jaga kemudian kita pinjamkan hilang, rusak atau entah kemana. Akan masih terasa terobati sebelnya ketika sipeminjam berusaha mengganti atau berusaha memperbaiki atau paling tidak ada upaya meminta maaf dsbnya karena rasa tanggung jawab yang dimilikinya. Akan tetapi rasanya  amat sangat menyebalkan ketika sang peminjam tidak mau tahu, cuek dan merasa tidak bersalah.  Saat mengalami ini, rasanya hati dan mukaku tidak bisa dipakai untuk tersenyum..

Sepanjang perjalanan menuju ke kantor, rasa sebel itu masih terasa, teringat pesan guru SDku dulu, kalau meminjam sesuatu kembalikan barang dalam keadaan seperti saat meminjam atau kalau bisa dalam keadaan lebih baik, aku teringat saat itu guru memberi contoh tentang meminjam buku yang tidak bersampul, mengembalikannya lebih baik kalau disampuli.  Lantas aku berfikir lebih jauh lagi.. bukankah tubuh kita, harta kita, dan segala hal yang melekat pada diri kita dan segala hal yang saat ini mempunyai status ‘milik’ kita sesungguhnya adalah pinjaman. Dan bukankah Sang Pemberi pinjaman akan merasa senang jika yang dipinjami bisa menjaga semua ‘hal’ yang dipinjamkanNya.

Astaghfirullah.. seruku dalam hati.. sudahkah aku menjaga dan memanfaatkan ‘pinjaman-pinjamanNya’  sesuai yang dikehendakiNya?

Sesungguhnya apapun yang melekat di diri kita adalah pinjaman. Teringat tausiyah Ust Yusuf Mansur tadi pagi di ANTV. Tetang kisah nabi Ibrahim AS yang diuji Allah SWT, dengan meminta kembali yang telah dipinjamankanNya ‘Ismail’, dengan memberikan wahyu yang tergambar jelas di mimpi untuk mengorbankan Ismail- anaknya (yang untuk hadirnya Ismail saja, kesabaran Nabi Ibrahim diuji dalam tenggelam pada masa penantian  waktu yang cukup lama ).

Kualitas yang hanya dimiliki oleh manusia-manusia mulia pilihanNya, dimana Nabi Ibrahim dengan ikhlas mengembalikan Ismail pada Pemiliknya, Allah Ta’ala.  Sungguh, sebuah kisah yang mengharu biru yang dilakonkan oleh dua manusia pilihan untuk membuktikan ketaatan cintanya pada Allah Ta’ala. Ibrahim, dengan keikhlasan memberikan permata hati yang paling dicintainya ‘Ismail’ , untuk membuktikan bahwa cinta padaNya melebihi segalanya. Dan Ismail, memberikan ‘dirinya’ untuk yang dicintainya (Sungguh, cinta memang gila… 🙂  )

Mulai deh refleksinya… , jari telunjuk itupun mengarah pada hidung kita masing-masing…  kita? untuk yang sederhana saja, seperti menjaga dan memanfaatkan apa yang sudah dipinjamkanNya sesuai jalan yang diridhoiNya saja terkadang kita lalai dan lupa, apalagi membuktikan bahwa kita mencintaiNya dengan pengorbanan seperti Nabi Ibrahim dan Ismail.  Aahh… rasanya masih jauuuuh.. (dan semakin merasa jauh.. ketika membayangkan ibu-ibu di gaza palestina merelakan anak-anaknya untuk berjuang demi kehormatan Islam di bumi gaza ).

Eitttss… Loh… lah ini tadi.. judulnya sebel kok jadi bicara cinta dan pengorbanan… he… he… sebelnya dah ilang.. tersalurkan lewat tulisan dan becanda-becandi ama temen-temen… Udah bisa tersenyum lagi… 😀

Alhamdulillaah…

Yah.. smg khilaf dan refleksi hari ini, yang tertuang dalam tulisan nyuampur ini, bisa manfaat  bagi yang membacanya.. ^_^ dan yg pasti kalau yg disebelin ikutan mbaca.. ikut ngerasa… :D…  Have a nice friday..

 

Atas ↑